Kalimat Iyyaka na’budu bermakna ‘kami tidak menyembah kepada siapa pun selain Engkau’ sehingga ibadah itu semuanya hanya boleh dipersembahkan kepada Allah semata, demikian pula isti’anah/memohon pertolongan hanya kepada Allah jua (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 41)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa salah satu faidah dari kalimat Iyyaka na’budu ini adalah mengikhlaskan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Karena di dalam kalimat tersebut objeknya disebutkan terlebih dulu, sedangkan dalam kaidah bahasa arab didahulukannya objek bermakna pembatasan. Dengan demikian di dalam kalimat Iyyaka na’budu ini pun telah terkandung makna laa ilaha illallah, dan hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwasanya ibadah tidak akan diterima di sisi Allah jika tidak dibarengi dengan keikhlasan (lihat Ahkam min al-Qur’an, hal. 23)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya menerangkan, bahwa di dalam kalimat ‘Iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian/keikhlasan dalam beragama yaitu mengikhlaskan ibadah dan isti’anah/memohon pertolongan kepada Allah semata (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40)
Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman, “Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan ia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif/menjauhi syirik, mendirikan sholat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Amal yang salih adalah amal yang sesuai dengan tuntunan dan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan tidak berbuat syirik artinya amal itu ikhlas untuk Allah. Amal hanya akan diterima jika terpenuhi kedua syarat ini; ikhlas dan mutaba’ah/mengikuti tuntunan.
Apabila ikhlas tapi tidak sesuai tuntunan maka tidak diterima, demikian juga sebaliknya; tidak akan diterima meskipun sesuai tuntunan tapi tidak ikhlas. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/103])
Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan diberikan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amal-amal itu menjadi berbeda-beda keutamaannya dan akan semakin besar pahalanya sebanding dengan apa-apa yang ada di dalam hati si pelaku amalan, yaitu iman dan keikhlasan…” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah Juz 9 hal. 11)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)